Tak puas rasanya jika kita
belum menuntaskan perjalanan mendaki puncak arjuno dan menyibak segala
rahasia kemistikannya. Keheningan petilasan Eyang Suktrem, Abiyasa dan
Eyang Sakri terasa lengkap jika kaki kita kembali melangkah menuju
petilasan Eyang Semar. Petilasan paling angker yang ada di lereng
Arjuno.
Untuk mencapainya, dibutuhkan jarak tempuh sekitar 1 jam 15 menit dari petilasan Eyang Sakri.
Menyusuri punggung bukit yang terjal lalu membelah padang alang-alang
dan hutan lebat akan mengantarkan kita pada ketinggian 2100 mdpl. Rasa
capek akan terbayar ketika kita melihat arca Eyang Semar yang berbalut
sarung hitam putih menghadap ke arah terbitnya matahari. Semar dikenal
sebagai tokoh pewayangan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa
kahyangan.
Menurut legenda dan cerita dari mulut ke mulut. Lokasi ini merupakan
persinggahan Eyang Semar ketika mengantar Wisnu yang akan bertapa di
Makutarama. Para pendaki biasanya diwanti-wanti agar tidak menginap atau
beristirahat di lokasi ini. Meski di lokasi ini telah dibangun tiga
pemondokan dan sebuah aula oleh para peziarah yang sering berkunjung dan
bertapa di lokasi ini.
Tak jauh dari lokasi petilasan eyang semar, sekitar 30 menit
perjalanan, kita akan sampai di Makutarama yakni tempat yang dipercaya
sebagai lokasi pertapaan Wisnu sehingga lokasi ini akrab disebut dengan
Wahyu Makutarama. Petilasan ini berupa bangunan dari batu andesit
berukuran 7 x 7 meter dan tinggi sekitar 3 meter. Di bangunan batu ini
terdapat dua buah Mahkota raja yang saling berdampingan. Konon, batu ini
merupakan simbol kebesaran dari raja jaman duhulu.
Para peziarah dan pertapa yang datang ke tempat ini biasanya
menempati sebuah pondok yang terbuat dari jerami yang ada di sisi kiri
pelataran Makutarama. Tak jauh dari situ, terdapat sebuah sungai dengan
batu-batu yang besar yang saat musim kemarau menyisakan genangan di cela
batu sehingga disebut ‘Sendang Widodaren’.
Perjalanan berlanjut, setelah puas beristirahat dan melepas penat di
Wahyu Makutarama. Kini saatnya melangkah menuju puncak sepilar.
Puncaknya laksana altar candi dengan anak tangga dari batu dan arca-arca
di sebelah kanan-kiri jalannya. Persis di atas bukit, kita akan
menjumpai tiga buah arca pandawa yang masih berdiri tegak di atas batu.
Konon, di sinilah tempat moksa para Pandawa. Sayangnya, dua arca lainnya
yakni arca nakula dan sadewa telah hilang dicuri orang.

Di Sepilar ini terdapat pula sembilan arca yang menggambarkan raksasa
yang sedang mengawal Pandawa sehingga suasana angker dan menyeramkan
sangat terasa apalagi pada malam hari. Keangkeran Sepilar bertambah
dengan cerita mistis adanya pasar setan atau Pasar Dieng di lokasi ini,
seperti halnya di Gunung Lawu atau Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Pada
malam bulan suro banyak sekali para peziarah terutama aliran kejawen
yang berziarah atau bertapa.
Puas merasakan segala aroma mistis di lokasi ini, perjalanan
dilanjutkan menuju candi Manunggale suci. Sebuah Candi yang berupa batu
yang ditata seperti pondasi yang di atasnya diletakkan marmer
bertuliskan huruf jawa dan di bawahnya tertulis S
ura Dira Jaya Diningrat Lebur Dining Pangastuti ( Kejahatan pasti kalah oleh kebaikan).
Deru angin dan kabut tipis yang muncul menerpa wajah menambah suasana
seram menaiki puncak Arjuna. Butuh waktu sekitar 5 jam dari candi
Manunggale suci untuk bisa sampai puncak ogal-agil Arjuna. Terjalnya
medan berbatu yang curam membutuhkan tingkat kehati-hatian yang lumayan,
apalagi pada malam hari. Sekitar 1 jam kemudian berbelok ke kanan
mengikuti alur punggung bukit yang terjal. Nampak jurang dalam yang
sangat indah dan Puncak gunung Arjuna sudah kelihatan di depan mata.
Di sekitar puncak gunung dengan ketinggian 3339 mdpl ini banyak
terdapat batu-batu besar yang berserakan. Dari atas Puncak Arjuna, kita
bisa melihat gunung Welirang yang mengeluarkan asap, ke arah barat laut,
tampak gunung penanggungan dan ke arah timur, kita bisa menyaksikan
puncak gunung semeru yang menawan dan ke arah selatan tampak gunung Kawi
dan gunung Anjasmoro berdiri kokoh.
Seperti di lereng-lerengnya, di puncak gunung Arjuna atau puncak
ogal-agil terdapat pula sebuah batu berbentuk singasana atau kursi yang
sering dikunjungi para peziarah untuk membakar hio atau dupa. Pada batu
tersebut terdapat gambar cakra atau tulisan jawa yang berarti Maha
Kuasa. Konon, batu ini dilarang diduduki oleh siapapun jika tidak ingin
celaka. Disebut ogal-agil karena batu-batu besar di sini bisa
bergerak-gerak atau dalam bahasa jawanya ogal-agil ketika tersapu angin
kencang. Namun tenang saja, pasalnya, batu itu tetap berdiri kokoh tidak
akan terjatuh ke jurang.